Social Icons

Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Maret 2014

Kisah cinta seorang gadis


Kisah cinta seorang gadis Aceh dengan militer yang ditugaskan ke Aceh semasa konflik atau biasa disebut 'serdadu Jakarta', diangkat dalam bagian novel Cinta Kala Perang, yang ditulis Masriadi Sambo, jurnalis asal Aceh.

Novel tersebut siap beredar pada 17 Februari mendatang. Diterbitkan Quanta Jakarta (Elex Media Kompas Gramedia Group), novel setebal 200 halaman itu bercerita tentang gadis di Aceh yang berjuang menyesaikan kuliahnya ketika perang masih melanda di provinsi paling ujung Sumatera tersebut.

Di sana diterangkan juga bagaimana hubungan pribadi antara gadis Aceh (Tari) dan seorang militer yang bertugas semasa konflik.

"Pesan moral yang ingin saya sampaikan dalam novel itu bahwa begitu susahnya untuk kuliah ketika konflik terjadi. Novel ini bisa menjadi motivasi pada mahasiswa dan masyarakat di seluruh Indonesia tidak mudah menyelesaikan pendidikan di daerah perang," terang Masriadi Sambo, Rabu (12/2/2014).

Selain itu, sambung Masriadi, novel Islami tersebut juga mengungkap sisi lain konflik, yaitu hubungan pribadi antara pasukan keamanan atau 'serdadu Jakarta' dan gadis Aceh pada masa daerah operasi militer (DOM).

Hal menarik lainnya, dalam novel itu juga dikisahkan tentang pekerja di lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang ikut membantu pemulihan trauma masyarakat Aceh yang terkena imbas konflik.

"Setting lokasi novel ini sekitar tahun 2004, jelang-jelang penandatanganan MoU antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki," ujarnya.

Dikatakan, novel itu juga untuk mengingatkan semua orang bahwa perang tidak hanya mengakibatkan korban jiwa, tetapi juga menyulitkan generasi bangsa untu bersekolah, bekerja, dan menjalankan aktivitas sehari-hari.

Oleh karena itu, novel ini bisa dijadikan renungan untuk memupuk perdamaian yang telah berlangsung di Aceh.

Ditambahkan, saat ini buku tersebut dalam proses percetakan. Pada 17 Februari mendatang diperkirakan novel telah tersebar ke seluruh Toko Buku Gramedia dan jaringan Kompas Gramedia Group di seluruh Indonesia.


readmore...

Sabtu, 22 Februari 2014

Teori Teori Sastra

Teori Psikoanalisis Sastra

Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk gangguan-gangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu, dengan anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya akan diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan pengarangnya sendiri. Akan tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari oleh si pengarang novel itu sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah terdistorsi, seperti halnya yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain, ketaksadaran pengarang bekerja melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat pengarangnya yang terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.

Teori Sastra Struktural
Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objek kajiannya.
Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra struktural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.

Teori Sastra Feminis
Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapan-anggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik. Di sini yang diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.

Teori Sastra Struktural
Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca. Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu. Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu
1. kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
2. pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3. kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.

Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapan-harapan kita, dan bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon harapan kita.


Psikoanalisis adalah cabang ilmu yang dikembangkan oleh Sigmund Freud dan para pengikutnya, sebagai studi fungsi dan perilaku psikologis manusia.
Sigmund Freud sendiri dilahirkan di Moravia pada tanggal 6 Mei 1856 dan meninggal di London pada tanggal 23 September 1939.
Pada mulanya istilah psikoanalisis hanya dipergunakan dalam hubungan dengan Freud saja, sehingga “psikoanalisis” dan “psikoanalisis” Freud sama artinya. Bila beberapa pengikut Freud dikemudian hari menyimpang dari ajarannya dan menempuh jalan sendiri-sendiri, mereka juga meninggalkan istilah psikoanalisis dan memilih suatu nama baru untuk menunjukan ajaran mereka. Contoh yang terkenal adalah Carl Gustav Jung dan Alfred Adler, yang menciptakan nama “psikologi analitis” (en: Analitycal psychology) dan “psikologi individual” (en: Individual psychology) bagi ajaran masing-masing.
Psikoanalisis memiliki tiga penerapan:

1) suatu metoda penelitian dari pikiran;
2) suatu ilmu pengetahuan sistematis mengenai perilaku manusia; dan
3) suatu metoda perlakuan terhadap penyakit psikologis atau emosional.
Dalam cakupan yang luas dari psikoanalisis ada setidaknya 20 orientasi teoretis yang mendasari teori tentang pemahaman aktivitas mental manusia dan perkembangan manusia. Berbagai pendekatan dalam perlakuan yang disebut “psikoanalitis” berbeda-beda sebagaimana berbagai teori yang juga beragam. Psikoanalisis Freudian, baik teori maupun terapi berdasarkan ide-ide Freud telah menjadi basis bagi terapi-terapi moderen dan menjadi salah satu aliran terbesar dalam psikologi..
Sebagai tambahan, istilah psikoanalisis juga merujuk pada metoda penelitian terhadap perkembangan anak.
Dikkutip dari wikipedia.
Dalam ilmu seni rupa dan sastra ilmu psikoanalisis atau psiko analisa seringkali dikaitkan dengan aliran atau paham surealisme.
Surealisme merupakan gerakan seni yang mula-mula tumbuh di Eropa dan
kemudian meluas secara internasional. Misteri tentang ketidaksadaran yang
dihadapi para seniman seakan bertemu dengan wacana psikoanalisis yang
dikembangkan Sigmund Freud. Estetika yang dikembangkan kaum Surealis
berakar dari Dadaisme yang antiseni dan Pittura Metafisica Italia yang
mendedahkan dunia khayal di era sebelumnya
dikutip dari ( http://file.upi.edu/)
readmore...

Sabtu, 11 Mei 2013

Nikmatilah Kopinya, Bukan Cangkirnya

Sekelompok alumni University California of Bekeley yang telah mapan dalam karir masing-masing berkumpul dan mendatangi professor kampus mereka yang telah tua. Percakapan segera terjadi dan mengarah pada komplain tentang stess di pekerjaan dan kehidupan mereka.

Menawari tamu-tamunya kopi, professor pergi ke dapur dan kembali dengan
poci besar berisi kopi dan cangkir berbagai jenis. Dari porselin, plastik, gelas, kristal, gelas biasa, beberapa diantara gelas mahal dan beberapa lainnya sangat indah.

Dan mengatakan kepada para mantan mahasiswanya untuk menuang sendiri kopinya.

Setelah semua mahasiswanya mendapat secangkir kopi di tangan, professor itu mengatakan :
"Jika kalian perhatikan, semua cangkir yang indah dan mahal telah diambil,
yang tertinggal hanyalah gelas biasa dan yang murah saja.Meskipun normal bagi kalian untuk mengingini hanya yang terbaik bagi diri kalian, tapi sebenarnya itulah yang menjadi sumber masalah dan stress yang
kalian alami."

"Pastikan bahwa cangkir itu sendiri tidak mempengaruhi kualitas kopi.
Dalam banyak kasus, itu hanya lebih mahal dan dalam beberapa kasus bahkan
menyembunyikan apa yang kita minum. Apa yang kalian inginkan sebenarnya adalah kopi,bukanlah cangkirnya, namun kalian secara sadar mengambil cangkir terbaik dan kemudian mulai memperhatikan cangkir orang lain."

"Sekarang perhatikan hal ini : Kehidupan bagai kopi, sedangkan pekerjaan,
uang dan posisi dalam masyarakat adalah cangkirnya. Cangkir bagaikan alat untuk memegang dan mengisi kehidupan. Jenis cangkir yang kita miliki tidak mendefinisikan atau juga mengganti kualitas kehidupan yang kita hidupi.
Seringkali, karena berkonsentrasi hanya pada cangkir, kita gagal untuk
menikmati kopi yang Tuhan sediakan bagi kita."

Tuhan memasak dan membuat kopi, bukan cangkirnya. Jadi nikmatilah kopinya, bukan cangkirnya.

Sadarilah jika kehidupan anda itu lebih penting dibanding pekerjaan anda.
Jika pekerjaan anda membatasi diri anda dan mengendalikan hidup anda, anda
menjadi orang yang mudah diserang dan rapuh akibat perubahan keadaan.

Pekerjaan akan datang dan pergi, namun itu seharusnya tidak merubah diri
anda sebagai manusia. Pastikan anda membuat tabungan kesuksesan dalam
kehidupan selain dari pekerjaan anda.

readmore...

Jumat, 26 Oktober 2012

ISTILAH SASTRA


Sastra Indonesia tidak bisa lepas dari sejarah yang telah terjadi di Indonesia, baik itu sejarah nasional ataupun sejarah sastra itu sendiri. Kata “sastra” berasal dari akar kata sas (Sansekerta), yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran tra berarti alat atau sarana. Jadi, secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Sebagai contoh, dalam khazanah Hindia, sastra sebagai maknabuku petunjuk dapat dijumpai pada istilah silpasastra (buku petunjuk arsitektur untuk candi), kamasutra (buku petunjuk percintaan). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah sastra sering dikombinasikan dengan awalan su sehingga menjadi susastra, yang dimaknai sebagai hasil ciptaan yang baik dan indah.
Dan banyak istilah-istilah yang terkandung di dalam satra itu sendiri,dan berikut ini adalah sedikit ringkasan dari banyak nya istilah-istilah di dalam sastra.

Abaian

Istilah filologi yang diambil dari bahasa Inggris,trivalization. Abaian adalah penghilangan atau pengubahan bagian naskah yang dianggap tidak berarti atau tidak dipahami oleh penyalin.

Abstrak
Istilah ini berasal dari bahasa Inggris abstract,yang artinya sifat tak nyata. maksudnya adalah sifat atau pengertian umum yang diangkat atau dipisahkan dari sesuatu yang nyata atau berwujud fisik. Misalnya, keindahan, kemiskinan, dan lain-lain.

Abstraksi
Istilah ini berasal dari bahasa Inggris abstraction
Maksud istilah ini adalah ringkasan atau intisari suatu karangan atau tulisan. Di samping itu, dapat pula diartikan sebagai suatu metode atau cara untuk memperoleh pengertian melalui seleksi terhadap gejala atau peristiwa sehingga menunjukkan sebab akibat atau pengertian umum.

Adagium
Ungkapan tradisional yang diterima sebagai suatu kebenaran. Contoh: ''orang sabar kekasih Allah.'' Adagium adahubungannya dengan istilah lain yang menyatakan suatu kebenaran umum seperti aforisme.maksim,pepatah,dan peribahasa. Di dalam teks-teks sastra khusunya fiksi dan drama adagium sering ditemukan dalam dialog para tokohnya.

Adaptasi
Berasal dari istilah bahasa Inggris adaptation. 
(1) Pengolahan kembali suatu karya sastra ke dalam bahasa lain dengan menyesuaikan unsur-unsurnya pada lingkungan budaya bahasa sasaran itu. Misalnya Si bachil karya Nur Sutan Iskandar adalah adaptasi karya Moliere L'avare: 
(2) Pengolahan kembali suatu karya sastra dari suatu jenis ke jenis lain dengan mempertahankan lakuan,tokoh,serta gaya dan nada aslinya. Misalnya, Novel ditulis kembali menjadi drama. Istilah lain dari adaptasi ialah saduran.

Addendum
Dari istilah latin dan perancis disebut addition.
Tambahanatau sesuatu yang ditambahkan;misalnya.apendiksyang ada pada buku.
Bentuk jamaknya,addenda. Istilah lain: lampiran dan tambahan.

AD-LIB
Istilah yang berasal dari bahasa Latin adlib. 
Maksudnya adalah penambahan (misalnya,inprovisasi) kata-kata dan gerak dalam suatu pementesan; berasal dari bahsa latin,ad-libitum 'dengan senang hati '. Lihat AD LIBITUM.

AD LIBITUM
Dari istilah Latin yang berarti 'seenaknya', 'mana suka' . 
Bentuk kependakannya adlib. Menjadi istilah drama yang merunjuk kepada gerak atau ucapan yang dilakukan secara spontan oleh pameran(tidak tertera dalam naskah).

Afektasi
Dari istilah Inggris affectation
Maksud istilah ini ialah tingkah laku atau tindak tanduk yang dibuat-buatuntuk menimbulkan kesan tertentu pada orang lain yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam cerita rekaan atau drama.

Aferesis
Dari istilah latin aphaeresis, petumenggalan huruf awal atau suku kata awal kata. 
Misalnya, "tirta marta'' untuk ''tirta amarta'', ''kan'', untuk  ''akan''

AFFECTIVE FALLACY
Dari istilah bahasa Inggris yang berarti salah nalar atau sesaat fikir dalai menilai karya sastra,yakni dengan mendasarkan penilaian itu pada pengaruh emosional karya itu terhadap pembaca; suatu pengeliruan antara karya itu sendiri dan apa yang diakibatkan olehnya. Misalnya penilaian suatu karya sastra oleh suatu pihak yang mengakibatkan karya tersebut dilarang beredar.

AFORISME
Dalam bahasa Inggris disebut aphorism dan dalam bahasa Perancis aphorisme
Maksud istilah ini adalah pernyataan yang padat dan ringkas tentang suatu sikap hidup atau tentang suatu kebenaran umum. Peribahasa seperti '' Alah bisa karena biasa '' mempunyai ciri afforisme.

readmore...

Selasa, 09 Oktober 2012

Geliat sastra lahir dari pribadi kreatif.

Geliat sastra lahir dari pribadi kreatif. 
 
Ia mungkin saja menjadi sekadar gerak-riak. Sangat boleh jadi pula menjelma gelombang ombak yang memukau. Segalanya bergantung pada kegelisahan kreatif seorang individu sastrawan. Maka, kreativitas bagi sastrawan sesungguhnya merupakan ruh yang memungkinkannya melakukan tindak mencipta, berkarya, dan membuat perubahan. “Kreativitas harus menjadi tanda per
ubahan mentalitas yang sangat berarti dalam diri makhluk manusia,” begitulah Nietzsche menekankan pentingnya kreativitas bagi manusia.
1. Itulah sebabnya, Nietzsche beranggapan, bahwa “Para pencipta adalah kaum yang lebih tinggi.” 
2. Mengingat kesusastraan –dan kesenian umumnya—tidak dapat terlepas dari soal kreativitas ini, jadilah ia serta-merta menyatu dengan proses kreatif penciptaan. Tanpa itu, ia akan menjadi tukang, pembebek, atau masuk dalam barisan para epigon; kelompok penjiplak yang malas memanfaatkan otaknya.

Penciptaan karya sastra adalah urusan individu. Kemandirian seorang sastrawan adalah modal utama. Dengan begitu, independensi mutlak menjadi dasar sosok pribadinya. Hanya dengan itu, ia dapat menggenggam gelombang yang kapan saja dapat dipancarkan ke segala arah atau cukup untuk dirinya sendiri. Maka, celakalah seorang sastrawan yang begitu amat bergantung pada pihak lain. Ketergantungan akan membawa seorang sastrawan pada musibah besar keterkungkungan kreatif. Ia terbelenggu oleh ketakbebasan. Itulah penjara pikiran yang sangat berbahaya bagi kebebasan berkreasi. Bukankah kebebasan merupakan fitrah manusia yang akan menjadikannya sebagai manusia yang bermartabat. Dalam bahasa eksistensialisme, “Realitas manusia adalah bebas, pada dasarnya dan sepenuhnya bebas!”

3.Komunitas sastra adalah sekelompok manusia –yang mestinya—independen. Mereka adalah sekumpulan pribadi yang sering kali dipersatukan oleh kegelisahan yang sama mengenai persoalan kesusastraan persekitarannya. Tidak jarang pula mereka mempunyai pandangan dan harapan tertentu dalam menyikapi masa depan kesusastraan bangsanya. Mereka berkumpul dan berinteraksi dengan kesadaran adanya kesamaan kegelisahan, harapan, dan pandangan. Mereka niscaya sangat menyadari pentingnya mengusung kebebasan berkreasi. Jika di dalamnya ada simpang-siur gagasan, perbalahan pendapat, pertentangan ideologi atau perselingkuhan kreatif, tentu saja semuanya sah. Itulah salah satu konsekuensi diberlakukannya kebebasan berpendapat dan kebebasan berkreasi. Oleh karena itu, biarkanlah perbedaan itu tetap mekar. Suburkan pula perbalahan dalam kerangka olah pikir. Silakan perbedaan itu menjadi bebuahan karya yang kaya gagasan, memancarkan dan menyemarakkan pergulatan pemikiran, melimpahkan model yang beraneka ragam dan menjelmakan rangkaian peristiwa kemanusiaan yang bermartabat, luhur dan berbudaya.
readmore...